SELAMAT DATANG DI BLOG SMP NEGERI SATU ATAP SUNGAI LAUT "ALAMAT. JALAN ISLAMIYAH DESA SUNGAI LAUT KECAMATAN TANAH MERAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR-RIAU KODE POS 29271 NO HP. 081363311997"

MENGUNYAH ILMU, MENELAN PENGETAHUAN

Oleh: Satria Anandita

Dulu guru SMA saya sering mengeluh kenapa banyak murid malas belajar. Yang dimaksud belajar di sini adalah mengikuti PBM di kelas, membaca buku paket, dan mengerjakan PR. Padahal kelas kami bagus dengan fasilitas lengkap, buku paket semua terbitan penerbit baik, dan PR yang diberikan rata-rata mudah karena cuma mengulang yang disampaikan saat jam pelajaran. Kenapa kami masih malas?

Dia mengibaratkan ilmu pengetahuan sebagai makanan. Food for thought. Jadi kami, sebagai murid, sebetulnya sudah enak. Tidak perlu repot merancang menu, pergi belanja ke pasar, tidak perlu masak. Semua jenis makanan pikiran sudah terhidang. Kami tinggal makan sampai bodok. Enak, kan? Lantas kenapa kami masih malas makan? Apa perlu disuapi seperti bayi? Asumsi si guru malah lebih dari itu. Dia tanya, apa perlu makanan itu dia kunyahkan dulu baru ditransfer ke mulut murid satu demi satu? Kalau gurunya cantik sih saya mau.

Tapi waktu itu saya tak punya jawaban. Gurunya jelek. Jadi saya tidur saja di kelas. Itu lima tahun lalu.

Sekarang, enam tahun kemudian, saya merasa sudah punya jawaban: jangan-jangan kami sedang tak lapar.

Saya jamin itu bohong. Selagi masih hidup, manusia selalu punya keinginan. Dan keinginan itu salah satunya adalah keingintahuan. Dalam lubuk hati yang terdangkal, manusia selalu penasaran. Selalu bertanya kenapa begini dan begitu. Menuntut penjelasan walau penjelasan tak bersalah. Menambang informasi. Kalau tidak dari orangtua dan guru, maka dari teman, tukang becak, sopir angkot, sampai dukun. Kalau tidak dari buku paket sekolahan, maka dari komik, novel, filem (hitam-putih sampai biru), jalanan, internet, dan seterusnya. Lihat saja anak muda zaman sekarang. Bentuknya macam-macam. Jadi?

Mungkin ada banyak kemungkinan. Yang sempat mampir ke otak saya ada beberapa.

Mungkin menunya tak cocok. Mungkin cara masaknya tidak pas. Mungkin juga penghidangannya keliru. Bersama itu semua, mungkin citarasanya tak sesuai selera. Selera siapa?

Selera murid.

Kalau belajar boleh disamakan dengan makan, maka selera penting dipertimbangkan. Kalau guru memang memasak ilmu pengetahuan untuk murid, maka guru perlu tahu selera murid.

Selama ini tidak begitu. Selama ini guru merancang menu, memasak, dan menghidangkan segalanya menurut seleranya sendiri. Jadi guru memasak untuk dirinya sendiri. Pintar dimiliki sendiri. Murid cuma dipaksa menuruti selera guru yang dianggap paling benar. Di luar itu semuanya dianggap salah. Murid dianggap goblok.

Maka muntahlah murid karena tak doyan. Makan ilmu tak lagi menyenangkan, justru menyengsarakan. Wajar kalau murid jadi malas makan pengetahuan. Dan guru, tanpa tahu diri, terus saja menyumpalkan makanan-makanan terkutuk itu. Ada murid yang langsung muntah. Inilah murid yang diterangkan banyak kali tanpa kunjung mengerti. Kemudian ada murid yang menyimpan makanan di mulut tanpa menelannya, lalu membuangnya setelah guru lewat. Inilah murid yang menghapal ilmu hanya sampai ujian, dan setelah itu lupa. Ada juga murid yang langsung menelan mentah-mentah tanpa dikunyah, lantas sakit perut. Inilah murid yang tahu banyak teori tapi tak bisa mempraktekkan. Kalau ngomong, suka sekali mengutip Marx dan Plato tapi meleset semua. Istilah gaulnya: “pseudo-intellectual”.

Memang tak semua murid begitu. Ada sejumlah murid yang bisa menerima ilmu masakan guru dan mencernanya dengan sempurna. Inilah murid yang seleranya kebetulan sama dengan guru sehingga bisa nyambung. Karena nyambung, guru jadi sayang. Karena sayang, si murid dianggap pintar dan yang lain dianggap goblok. Padahal setiap orang pintar di bidangnya masing-masing, dan punya gobloknya masing-masing. Tapi siapa peduli? Guru tidak peduli. Guru tidak membaca tulisan seperti ini.

Yang dibaca guru tanpa henti adalah tumpukan buku paket sekolahan yang jadi best-seller karena murid diwajibkan beli. Kalau tidak beli, murid berdosa. Murid berdosa kalau lebih pilih baca novel atau komik, atau cerita-cerita dewasa dan filem aksi. Belajar dari hal-hal semacam itu dianggap salah dan tidak berguna. Padahal hedonisme juga bisa jadi objek studi menarik. Hehehe. Maka jadilah seperti ada tertulis: “roti yang dimakan dengan sembunyi-sembunyi lebih nikmat!” Murid masuk lebih khusyuk dalam beragam bacaan dan tontonan tanpa sepengetahuan guru dan orangtua.

Kalau belajar boleh disamakan dengan makan, maka selera penting dipertimbangkan. Kalau guru memang memasak ilmu pengetahuan untuk murid, maka guru perlu tahu selera murid. Kalau guru tak mungkin meladeni selera setiap murid, maka murid perlu diberdayakan untuk memuaskan seleranya sendiri. Pendidikan cuma omong kosong bila tidak memberdayakan orang; bila murid tidak menjadi otodidak abadi.

Otodidak abadi mencari ilmu tidak hanya di pasar informasi. Ia berburu di belantara tanda. Di sana ia memeras makna untuk ditambahkan pada hidupnya sendiri. Dengan demikian hidupnya menjadi lebih bermakna. Lebih hidup. Dalam hidup yang lebih bermakna ia menjadi lebih takzim menghadapi realitas ultima yang tak akan pernah habis ia mengerti. Ia senantiasa takjub, senantiasa galau, dan semangat belajarnya senantiasa hijau. Au au.

Untuk menjadi otodidak abadi, murid perlu mengenal seleranya sendiri. Mengenal selera berarti mengenal diri sejati. Dan tugas guru adalah membimbing. Murid perlu mengenal dirinya sendiri supaya bisa menentukan apa tujuan hidupnya, apa yang mau ia pelajari, dan bagaimana cara mempelajarinya. Jika ketiga hal ini sudah jelas, murid bisa belajar secara mandiri. Guru tinggal mendukung dan memfasilitasi. Tak perlu membatas-batasi karena setiap orang, jika dipercaya penuh, bisa menentukan batas-batas terbaiknya sendiri. Pendidikan kita perlu lebih optimistis memandang manusia, karena manusia berharga di mata Tuhan.

Pendidikan kita perlu diubah. Ini mustahil selama guru masih berkuasa dan memaksakan kebenaran seleranya. Hari ini kita punya konsep “student-centered learning” sebagai pemanis bibir belaka. Murid juga tidak punya inisiatif membangkang secara sistemik karena otaknya sudah terlanjur diperangkap dalam kelas dan formalitas. Rasanya mereka belum tahu kalau Bakunin pernah bilang, “To revolt is a natural tendency of life.” Hahaha.
 

Copyright © 2011 SMP NEGERI SATU ATAP SUNGAI LAUT